Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian
gunung berapi yang mengarah ke selatan dari
Gunung Ungaran. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di
zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah
Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi
vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.
[2]
Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan seterusnya.
[3] Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap.
[4]
Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu
Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak
Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun
belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini
adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang
terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan
(8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak
tinggi, seperti Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari
lava andesit. Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran
lava, breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat
letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi
letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat yang
meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km
dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasarbubar (atau
Pasarbubrah) diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang
sekarang, Puncak Anyar, baru mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang
lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan
eksplosif dengan
VEI 4 berdasarkan pengamatan lapisan
tefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak
kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan
awan panas (
nuée ardente)
yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan
tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi
desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang
berlangsung sejak letusan gas 1969.
[2]
Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di
bawah Merapi berisi material seperti lumpur yang secara "signifikan
menghambat gelombang getaran gempa bumi". Para ilmuwan memperkirakan
material itu adalah magma.
[5] Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menghunjamnya
Lempeng Indo-Australia ke bawah
Lempeng Eurasia[6].
Puncak Merapi pada tahun 1930.
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar
sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar
tercatat pada tahun
1006 (dugaan),
1786,
1822,
1872, dan
1930. Letusan pada tahun
1006 membuat seluruh bagian tengah
Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan pengamatan timbunan debu vulkanik.
[7] Ahli geologi Belanda, van Bemmelen, berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat
Kerajaan Medang (Mataram Kuno) harus berpindah ke
Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern dengan skala
VEI mencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun
1930,
yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan
letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.
[rujukan?]
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran
awan panas
ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa
manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas
sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini
adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung
terus-menerus. Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas
tinggi dan sempat menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem
karena terkena terjangan awan panas. Rangkaian letusan pada bulan
Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai yang terbesar sejak
letusan 1872
[8] dan memakan korban nyawa 273 orang (per 17 November 2010)
[9],
meskipun telah diberlakukan pengamatan yang intensif dan persiapan
manajemen pengungsian. Letusan 2010 juga teramati sebagai penyimpangan
dari letusan "tipe Merapi" karena bersifat eksplosif disertai suara
ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20-30 km.
Gunung ini dimonitor non-stop oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, dibantu dengan berbagai instrumen
geofisika telemetri
di sekitar puncak gunung serta sejumlah pos pengamatan visual dan
pencatat kegempaan di Ngepos (Srumbung), Babadan, dan Kaliurang.
Di bulan
April dan
Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah
Jawa Tengah dan
DI Yogyakarta
sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah
dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di
dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.
Pada tanggal
15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada
4 Juni, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala
BPPTK
Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4
Juni volume lava di kubah Merapi sudah mencapai 4 juta meter kubik -
artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi sehingga
tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah Merapi.
1 Juni,
Hujan abu vulkanik dari luncuran
awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di
Kota Magelang dan
Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah.
Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini.
[10]
8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan semburan
awan panas
yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan
berusaha melarikan diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua letusan
Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09:40 WIB. Semburan awan
panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu
Kali Gendol (lereng selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara
Kaliadem di wilayah
Kabupaten Sleman.
[11]